wp-1452048393389.jpeg

Author             : Bellecious0193

Poster              : Lily21Lee

Genre              : Romance, Action, Family

Rate                 : Not for Children Under 17 years old

Length             : Chaptered

Casts                :

Kim Jongin

Jo Eun Hee

Oh Sehun

Lee Na Ra

Etc

Note : Hi, long time no see. Sorry for the late update. Jika ada yang lupa ceritanya bisa scroll ke bawah dan baca ulang part sebelumnya ya hihi… Kemarin sibuk dengan beberapa urusan, tapi saya usahakan untuk tetap bisa menulis. Part ini ada NC nya walaupun gak gitu banyak tapi saya harap kalian bijak sebelum membaca ya. Don;t forget to comment, like and share ya ^^

Oya yang mau pesan ebook bisa dilakukan kapan saja ya, langsung hubungi kontak yang ada.

Have a nice day

Na Ra Lee

            “It is a sort of miracle when two people fall in love into each other.”

Han River, Seoul

Sehun mencengkram erat kemudi di depannya. Dia membiarkan matahari menyengat kulit wajahnya yang pucat. Tubuhnya sudah dipenuhi keringat, tapi seolah tak terganggu, pria itu masih memfokuskan pandangannya pada dua sosok yang berdiri sekitar lima belas meter darinya. Dahinya mengernyit, kedua matanya juga menyipit beberapa kali, memastikan bahwa sasarannya masih berada di tempat yang sama.

“Kau bisa menghentikan semuanya sekarang Oh Sehun. Semuanya belum terlambat.” Sebuah suara berbisik berkali-kali di kepalanya. Dia lalu melirik pada sebuah Heckler yang dia letakkan di bangku samping, memandangnya dengan jijik. Sudah puluhan atau bahkan mungkin ratusan nyawa yang sudah dia habisi dengan pistol yang sama. Dan kali ini adalah pertama kalinya dia merasa sangat jijik dengan benda yang selama ini menjadi kebanggaannya itu. Dia tak keberatan membunuh berapa ribu orang pun, tapi membunuh seorang wanita baik-baik sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya, mungkin lebih baik jika dia mati saja saat ini.

Saat dia memikirkan tentang bunuh diri kaca pintu mobilnya diketuk, dengan gerakan cepat dia mengambil pistolnya, menyembunyikan benda tersebut di balik jaketnya. Dia lalu menurunkan kaca mobil tanpa sama sekali berniat untuk melihat siapa yang sudah mengetuk kaca mobilnya, pandangannya masih saja tertuju pada Jongin dan Eun Hee yang masih asyik bercengkrama.

“Yak!” Suara wanita terdengar berteriak memenuhi indera pendengaran Sehun, belum sempat dia menoleh sebuah pukulan sudah mendarat mulus di kepalanya.

“Na Ra noona!” Pria tersebut balas berteriak, mengelus kepalanya yang nyeri dan membukakan pintu mobil untuk wanita yang sudah dengan kurang ajar meneriaki dan memberinya bonus pukulan.

“Berani sekali kau mengabaikanku, huh?” Na Ra berujar saat dia sudah duduk dengan nyaman di dalam mobil Sehun. Dia lalu melihat ke arah pandangan Sehun sebelumnya, mencoba bersikap tidak peduli.

Sorry.. aku pikir kau orang tak penting.”

“Sialan! Berbulan-bulan tidak bertemu denganku, kau malah mengataiku tak penting. Kau benar-benar adik terkutuk.”

“Sialan! Berbulan-bulan tidak bertemu denganku, kau malah meneriaki dan memukulku. Kau benar-benar kakak terkutuk.” Sehun membalas perkataan Na Ra, dengan kalimat makian yang nyaris serupa. Mereka lalu terdiam selama beberapa saat, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan kepada satu sama lain.

“Bisa tidak mengatakan kata-kata semacam “Sehunnie aku merindukanmu” ? Mungkin kau akan nampak seperti wanita yang sesungguhnya, noona.” Sehun berbicara dengan bibir mencebik, nadanya kekanak-kanakan, menanggalkan imejnya sebagai seorang mata-mata nomor satu Korea.

“Tunggu saja sampai neraka membeku.”

“Kau sama menyebalkannya dengan Ryu Jin hyung.”

“Mau bagaimana lagi, dia kan kakak kandungku.”

Sehun mengangkat bahu sebagai tanggapan, memang sangat sulit untuk berbicara secara normal dengan Lee Na Ra. Akan selalu ada perdebatan, beberapa luka memar jika dia sedang sial.

“Ngomong-ngomong dari mana noona tahu aku di sini?”

“Terkadang jika melihat betapa mudahnya aku menemukanmu, aku jadi bertanya-tanya kenapa kau bisa menjadi mata-mata nomor satu Korea.”

“Bisa tidak untuk tidak membahas profesiku?” Sergah Sehun, kesal dengan Na Ra yang membawa-bawa perihal profesinya.

“Kau pikir semua orang di Korea bisa membeli Koenigsegg Agera sepertimu, huh?” Sehun menepuk jidat mendengar perkataan Na Ra, mengakui kebodohannya yang sudah menggunakan mobil sport berwarna merah cerah yang begitu menonjol.

14768-koenigsegg-agera-r-1920x1200-car-wallpaper

“Aku rasa kau benar noona, reputasiku sebagai mata-mata memang patut dipertanyakan.”

“Sudahlah, jadi apa masalahmu?” Na Ra mengambil sebotol air mineral dari dalam tasnya, menyodorkan benda tersebut pada Sehun. “Minumlah. Kau tampak sangat err… kacau.”

“Tapi aku tetap tampan, kan?” Sehun memberikan senyum miringnya seraya meneguk sebotol air yang diberikan Na Ra. Dia memilih untuk mengalihkan pembicaraan, tak suka saat orang lain membahas misi yang tengah dia jalani. Wanita itu dengan telaten menyeka keringat yang ada di wajah Sehun, juga mengeringkan tangannya yang basah. Sehun untuk beberapa saat menahan napas, terutama saat jaraknya dengan Na Ra sangat dekat hingga dia bisa mencium aroma coklat yang menguar.

“Kau tahu cuti kan, Hun?” Na Ra membuka suara, membuat Sehun gelagapan dan buru-buru memasang wajah datar. Dia tak mau ketahuan sedang gugup dan menjadi bahan olok-olok Na Ra.

“Kau bisa mengambil cuti beberapa hari, pergi berlibur dan bersenang-senang, kau juga bisa mencari beberapa wanita untuk menghilangkan stres.”

“Bersenang-senang? Mungkin. Tapi menyewa wanita penghibur, it’s a big no!”

“Kau masih bertahan dengan prinsip untuk tidak tidur dengan wanita penghibur, ya?”

“Tentu saja, aku kan pria sejati yang menjaga prinsipnya. Lagi pula aku selalu berpikir bahwa wanita yang bisa tidur dengan semabarang pria sangat kotor. Kau tahu lah mereka tidak bagus untuk kesehatan. Aku lebih suka bercinta dengan wanita-wanita yang aku kenal dengan baik, mereka yang aku tahu tidak akan tidur dengan sembarang pria, dengan kau misalnya.” Sehun mengerling yang dibalas Na Ra dengan ekspresi datar. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan blak-blakan Sehun.

“Bagaimana hubunganmu dengan Kris dan Kyuhyun hyung?” Pria itu kembali bertanya, ekor matanya mencuri pandang pada Jongin dan Eun Hee.

“Ketika kau bilang bahwa kau terkutuk mungkin kau benar, aku tak bisa mempunyai hubungan baik dengan keduanya. Kau tahu lah, pilihan yang sulit.”

“Kau harus memilih salah satu dari mereka noona. Para pria sangat tidak sabaran, kau bisa saja kehilangan calon suami potensial.”

“Kalau begitu aku menikah denganmu saja, ya? Jadi aku tidak perlu memilih antara Kris atau Kyuhyun.” Na Ra berseloroh, tapi wajah Sehun segera berubah serius. Dia mulai terpancing dengan perkataan Na Ra.

“Oh tentu saja tidak bisa.”

“Kau menolakku Oh Sehun?”

“Bukankah sudah jelas? Aku tidak akan membiarkan hidup Lee Na Ra dalam bahaya hanya karena menikah dengan orang sepertiku.”

“Manis sekali.” Na Ra menukas, lagi-lagi mengikuti arah pandangan Sehun. Pria tersebut nampak sangat gusar.

Noona kau lihat ke arah jam sepuluh, di sana ada seorang pria dengan jaket hitam dan topi yang menutupi wajahnya, sepertinya dia sedang mengincar Eun Hee.” Sehun menunjuk arah yang dimaksud dengan dagunya, yang segera Na Ra ikuti perkataan pria tersebut.

“Dia menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya, aku rasa pistol atau mungkin pisau. Well, Eun Hee kan punya banyak musuh.” Sehun terdiam sejenak mendengar perkataan Na Ra, dia menggenggam tangannya sendiri hingga kebas.

“-maksudku ayahnya. Kau tahu lah dunia bisnis sangat kejam.” Na Ra mengoreksi ucapannya, yang hanya dibalas Sehun dengan sebuah anggukan ringan. Lee Na Ra mungkin akan membunuhnya jika wanita tersebut tahu bahwa dia juga diberi tugas untuk membunuh Eun Hee.

“Apa kau pikir Jongin bisa mengatasi orang ini?” Sehun mengalihkan pembicaraan, memecah pikiran kacaunya akan sebuah rencana pembunuhan yang mengerikan.

“Kau terlalu meremehkan Kim Jongin, Sehunnie. We’ll see.” Tepat setelah menyelesaikan perkataannya, pria yang tadi ditunjuk Sehun berlari ke arah Jongin dan Eun Hee. Posisi Eun Hee yang membelakangi pria tersebut membuatnya tak tahu apa-apa, beruntung Jongin dengan sigap menarik Eun Hee, melayangkan sebuah tendangan tepat di dada si pria misterius. Eun Hee nyaris berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Jongin merangsek ke depan, menendang jauh-jauh pisau yang tadi digenggam si pria. Dia sudah akan menendang pria tersebut saat si pria berkilah, menjatuhkan Jongin dengan kakinya.

Orang-orang mulai berkerumun, menyaksikan pemandangan seru bak film action secara langsung. Saat Jongin berusaha bangkit, si pria menginjak dadanya, mendudukkan diri di atas perut Jongin dan melayangkan beberapa pukulan.

“Mati kau!” Terdengar suara si pria, suaranya menyerupai desisan mengerikan.

Jongin tak tinggal diam, dia mencengkram pergelangan tangan si pria, memelintirnya dengan kencang lalu melemparkan pria tersebut ke tanah. Dia mencoba mengatur napas, berdiri dengan langkah sempoyongan dan di saat yang sama si pria misterius sudah berdiri tegap, siap menyerang Jongin lagi.

“Kau payah sekali Kim Jongin.” Si pria mencemooh, nampak puas dengan Jongin yang sudah mendapat beberapa luka lebam.

“Pengecut sekali.” Balas Jongin, lalu melayangkan beberapa pukulan yang juga mengenai wajah si pria. Sudut bibir si pria robek dan mengeluarkan darah segar. Tanpa di duga, Jo Eun Hee merangsek ke arah si pria, memukuli pria itu dengan tasnya.

“Kau pria jahat, sialan. Apa maumu, huh?” Eun Hee terus memukulnya dengan membabi buta, membuat si pria yang tak siap kian merasa kesakitan.

“Menjauh dariku.” Si pria berteriak, mengibaskan lengannya dan tepat mengenai tubuh Eun Hee hingga terhempas ke tanah.

“Jo Eun Hee!” Jongin meneriakkan nama Eun Hee. Diselimuti rasa marah karena perlakuan si pria pada Eun Hee, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul pria tersebut.

“Pergilah ke neraka bedebah!” Ucap Jongin di antara napasnya yang memburu. Si pria justru tersenyum sengit, memuntahkan darah dari mulutnya. Setelah puas memukuli, dia menginjak dada pria tersebut, sebelum beralih pada Eun Hee yang nampak kesakitan. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, melainkan meletakkan tangan Eun Hee di belakang lehernya dan menggendong wanita tersebut. Dia sama sekali melupakan si pria yang memandang sengit ke arah keduanya, sekali lagi meludahkan darah yang memenuhi bibirnya.

“Kau memang lemah Kim Jongin.” Ujarnya, dia lalu segera berlari sebelum beberapa pengawal Eun Hee yang lain menangkapnya. Dia akan membalas dendam di lain waktu.

“Kau lihat kan, dia bisa mengatasinya.” Na Ra bertepuk tangan dengan bangga, memuji kinerja Jongin. Bibir Sehun mencebik, menandakan dia punya pendapat yang berbeda dengan wanita tersebut.

“Lumayan, tapi Jongin masih terlalu lemah untuk melindungi Eun Hee dengan kemampuannya yang seperti itu. Aku kira dia bisa bertindak lebih baik.”

“Dia sedang dalam posisi tidak siap tadi.” Na Ra membela, yang membuat Sehun menampakkan wajah jijiknya.

“Oh ayolah noona, penjahat mana yang akan dengan baik hati mengatakan bahwa dia akan menyerangmu? Kau tentu tidak berpikir bahwa pria tadi akan meminta ijin ketika akan menyerang Jongin atau pun Eun Hee, kan? “Permisi Jongin, aku akan memukulmu. Aku akan melukai Jo Eun Hee juga, aku harap kalian siap.” Begitu, huh?”

Na Ra nyaris tertawa mendengar cara berbicara Sehun yang dibuat kekanak-kanakan, tapi dia menahannya dan memilih mengangguk sebagai tanda persetujuannya.

“Aku rasa kau benar, Jongin memang sedikit payah hari ini. Tapi aku rasa dia mempunyai alasan.”

“Sampai kapan kau akan terus membelanya, noona? Dia mungkin sniper yang handal, tapi urusan bela diri aku bahkan ragu dia bisa mengalahkan kemampuanmu.”

“Ha Ha.” Na Ra tertawa masam, melirik ke arah Jongin dan Eun Hee yang sudah menghilang di balik mobil hitam milik Eun Hee. Sehun melakukan hal yang sama, sebelum dengan gerakan tiba-tiba memandang ke arah Na Ra dengan tatapan serius, penuh kerinduan.

“Sudah cukup membicarakan mereka, jadi kapan membahas soal kita?”

“Kita? Sejak kapan aku setuju mengubah kau dan aku menjadi kita?”

“Aku merindukanmu.” Sehun mengucapkannya dengan suara begitu pelan, nyaris tertelan desau angin. Tanpa menunggu jawaban Na Ra, dia memeluk wanita tersebut, menenggelamkan kepalanya pada cerukan lehernya, menghidu.

Na Ra hanya mengelus pelan punggung Sehun sebagai tanggapan. Mungkin dia perlu meluangkan waktu lebih banyak lagi bersama pria itu.

**

Jo Family’ House, Seoul.

            Kim Jongin tak membiarkan Eun Hee berjalan dengan kakinya paska penyerangan di sungai Han. Dia masih menggendong gadis tersebut hingga ke lantai atas di mana kamar Eun Hee berada. Keduanya bahkan mengabaikan tatapan khawatir para pelayan di rumah mewah tersebut. Jongin yang sibuk memperhatikan jalan, sedangkan Eun Hee yang sibuk memandangi wajah Jongin dari dekat. Tak habis dia mengagumi ciptaan Tuhan yang terpampang nyaris sempurna di depan matanya.

“Seharusnya kau membiarkanku berjalan sendiri, Jong.” Eun Hee berbicara dengan nada menggerutu yang terdengar main-main, tentu saja dia tidak keberatan jika terus berada dalam pelukan Jongin sepanjang hari. Dia memang tidak pernah imun pada pria tampan di belahan bumi manapun.

“Aku tidak suka pada kemungkinan kau akan kesakitan lagi.” Jongin menjawab acuh, setengah berlari ke arah pintu untuk mengambil obat-obatan di lantai bawah. Dia membiarkan darah di sudut bibirnya mengering, melupakan bahwa sebenarnya dia lah yang lebih membutuhkan pertolongan pertama dari pada Eun Hee.

“Jonginnie, sebaiknya kau obati dahulu lukamu.” Shindong berbicara dengan setengah berbisik, yang ditanggapi Jongin dengan delikan mata karena Shindong sudah memanggilnya dengan sembarangan.

“Jangan menatapku seperti itu. Aku sudah menahan diri untuk tidak membantumu tadi, tahu. Apa pria tadi sehebat itu, sampai kau kewalahan seperti ini, huh?”

Hyung.” Jongin menukas, menatap Shindong yang seketika menciut di bawah tatapan mengintimidasi pria tan tersebut.

Ne.”

            “Jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, berjanjilah bahwa kau akan menjaga Eun Hee dengan segenap jiwamu.”

“Tapi-“

“Aku tidak sedang menawarkan sebuah kesepakatan, hyung. Jadi dengarkan, jika suatu saat nanti kita berada dalam situasi berbahaya, kau harus segera menyelamatkan Eun Hee dan menjauhkannya dari bahaya, jangan pedulikan aku. Kau hanya perlu mengingat satu hal bahwa Eun Hee harus selamat. Kau mengerti?”

Shindong masih terdiam di tempat, mencoba mencerna perkataan Jongin. Selama mengenal Jongin, dia belum pernah melihat Jongin begitu serius dalam memohon keselamatan orang. Dia yakin benar bahwa Jo Eun Hee teramat berarti untuk Jongin.

Hyung, kau bisa berjanji padaku, kan?”

“Aku berjanji untuk melindungimu, bukan melindungi Eun Hee.” Shindong mencoba berargumen, nampak sama sekali tak setuju dengan permintaan Jongin.

“Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Eun Hee, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, hyung. Jadi berjanji saja padaku, oke.”

Jongin menepuk pelan bahu Shindong, segera berlalu tanpa menunggu persetujuan pria bertubuh besar tersebut. Lagi pula dia sangat yakin Shindong yang sudah seperti kakak kandungnya akan mengabulkan permintaannya.

**

Eun Hee mengalihkan pandangan saat pintu berderit terbuka. Kedua tangan Jongin sudah dipenuhi dengan sekotak obat-obatan, waslap dan air hangat. Sekali lagi tanpa berbicara, pria itu berjongkok di depan Eun Hee, meletakkan kaki gadis tersebut di pangkuannya dan mengelapnya dengan menggunakan waslap dan air hangat.

“Seharusnya kau tak perlu melakukan hal tadi, Jo Eun Hee.” Jongin akhirnya membuka suara, setelah sekitar lima menit dia berkonsentrasi penuh pada kaki Eun Hee yang sama sekali tak terluka. Hanya ada sedikit jejak tanah, tanpa luka memar atau pun lecet seperti yang dia khawatirkan sebelumnya.

Eun Hee tidak segera menjawab, dia sibuk memandangi wajah serius Jongin. Dia tak mau melewatkan kesempatan emas untuk terus memandang wajah tersebut selama yang dia mampu. Dia juga tengah berusaha menetralkan detak jantungnya yang tak keruan. Bukan karena penyerangan si pria misterius, melainkan karena Jongin yang menggendongnya, juga suara pria tersebut yang menyebut nama lengkapnya dua kali hari ini. Kesemuanya dalam intonasi berbeda yang tetap saja Eun Hee sukai. Mungkin benar bahwa dia sudah tergila-gila pada Jongin, dan dia sama sekali tak keberatan.

“Apa kau mendengarkanku?”

“Jo Eun Hee, kau mendengarkanku?” Jongin mengulang pertanyaannya, sedikit menggoyangkan kaki Eun Hee yang ada di pangkuannya.

“Tiga kali.” Ucap gadis itu dengan cepat. Dia mengabaikan perkataan Jongin.

“Apa?”

“Kau menyebut nama lengkapku tiga kali hari ini, katakan lagi.” Eun Hee menatap Jongin dengan pandangan berbinar, berharap pria tersebut mau mengabulkan permintaannya.

“Bermimpi saja!” Jongin menyergah, dia lalu meletakkan kaki Eun Hee di lantai, membereskan peralatan yang nampaknya sama sekali tidak perlu. Tapi saat Jongin akan berjalan keluar, Eun Hee mencekal tangan pria itu, mendudukannya dengan paksa di tepi ranjang.

“Kau memang tampan, tapi kau juga tak sepintar yang aku kira.” Dia berujar, mengambil cairan antiseptik dan menuangkannya di kapas sebelum membersihkan luka yang ada di wajah Jongin. Pria itu meringis menahan perih karena cairan antiseptik yang menyentuh lukanya, dia bahkan harus mencengkram tepian ranjang karena hal tersebut.

“Sebelum mengomeliku soal apa yang harus dan tidak ku lakukan, ada baiknya kau lebih memperhatikan dirimu sendiri. Kau ini idiot atau apa? Jelas-jelas kau yang lebih kesakitan, lebih banyak mendapatkan luka, bukankah seharusnya kau yang lebih dulu mendapatkan pengobatan?”

“Kau sedang mengguruiku?” Jongin menukas, tak terima dengan Eun Hee yang mendadak mengomelinya.

“Orang terpintar di dunia pun perlu mendengarkan orang lain Kim Jongin, begitu pula kau!”

“Maksudmu?”

“Kau juga harus memperhatikan keselamatanmu, dan berhenti terlalu mengkhawatirkan keselamatanku.” Eun Hee masih mengomel, tangannya masih telaten mengobati luka-luka di wajah Jongin.

“Sudah tugasku untuk melindungimu.”

“Bagaimana kau mau melindungiku jika kau saja tidak bisa melindungi dirimu sendiri, huh? Berhenti menjadi idiot dan berpikirlah logis.”

“Hentikan.” Jongin berbicara dengan nada memerintah, membuat Eun Hee menghentikan gerakannya yang sedang mengoleskan cairan antiseptik di lengan pria tersebut.

“Apa?”

“Aku bisa mengobati lukaku sendiri. Dan kau berhenti menceramahiku.” Eun Hee hanya mengangkat bahu mendengar perintah Jongin. Dia mengabaikkannya, dan kembali berfokus mengobati luka Jongin, kali ini dia memasang plester di lengan pria itu.

“Selama ini aku terlalu banyak mendengarkanmu, dan kau terlalu banyak berbicara. Aku memang tidak pintar Kim Jongin tapi aku tahu satu hal, bahwa dengan mendengarkan kau akan mendapatkan pelajaran baru, sementara saat kau terus berbicara kau hanya mengulang hal-hal yang kau tahu, pada akhirnya kau tak akan mempelajari hal baru yang mungkin berguna.”

Jongin terdiam mendengar perkataan Eun Hee. Di dalam hatinya dia sangat setuju dengan apa yang gadis itu katakan. Tapi sayangnya gengsi meghalanginya untuk sekadar mengiyakan apa yang Eun Hee ucapkan tadi.

Cha.. sudah selesai.” Eun Hee merekatkan satu plester kecil di sudut dahi Jongin, menyelesaikan rangakaian pengobatan sederhana yang dia tonton di banyak drama Korea. Tapi Jongin masih belum bergeming, tatapannya begitu kosong, seolah dia sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Jong…” Eun Hee mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Jongin, mencoba mendapatkan atensi pria tersebut. “Apa yang kau pikirkan?”

“Ternyata kau memang tak sebodoh yang aku pikirkan.” Kali ini dia memutuskan untuk sedikit memuji Eun Hee. Hari ini sang pewaris sedikit banyak membantunya.

“Kau terlalu meremehakanku hanya karena nilai akademikmu lebih baik dariku.”

“Nilai akademik adalah hal yang krusial, tahu?”

“Tentu saja aku tahu. Appa bahkan menjejaliku dengan serangkaian kursus agar nilai akademikku sedikit lebih bagus, tapi mau bagaimana lagi aku memang tidak bakat dalam hal akademik.”

Jongin tertawa melihat Eun Hee dengan wajah memelasnya menceritakan betapa sang ayah begitu terobsesi memiliki seorang puteri dengan kemampuan akademik yang menonjol.

“Jangan menertawaiku Jong!” Dia menunjuk wajah Jongin dengan telunjuknya, merasa kesal karena wajah mengejek pria tersebut yang nampak sangat blak-blakan.

“Paling tidak aku punya kemampuan lain yang bisa aku banggakan.”

“Misalnya?”

“Aku bisa mengingat adegan drama dengan sangat baik, setiap detilnya, aku bisa sangat hapal. Aku bahkan sangat hapal gaya berciuman Lee Min Ho, Kim Soo Hyun atau pun Gong Yoo di drama.”

“Apa itu hal yang membanggakan? Konyol sekali.” Jongin berbicara dengan bibir mencebik, lagi-lagi mengejek Eun Hee.

“Oh ayolah, setidaknya aku punya kelebihan. Walaupun aku sangat mudah lupa pada apa yang dikatakan dosenku, atau para pengajar di tempat kursus, juga ceramah yang selalu appa berikan.”

“Kalau begitu kau memang tidak pintar pada hal-hal penting, jadi berhenti membanggakan kelebihanmu pada hal-hal yang tak penting.”

“Hey tapi anehnya aku mengingat apa-apa yang kau katakan padaku. Aku mengingat rupamu dengan jelas, bau tubuhnya, cara berjalanmu, bahkan aku bisa dengan gamblang mengingat betapa tegas rahang dan betuk wajahmu.”

Wajah Jongin seketika memerah mendengar penuturan Eun Hee, padahal gadis tersebut sama sekali tak berniat merayu. Dia hanya berkata jujur.

“Aku juga ingat bahwa tempo hari kau menjamin keselamatanku dengan hidupmu. Itu manis sekali. Belum pernah ada seorang pria pun yang pernah berjanji seperti itu padaku. Apa aku sangat berarti bagimu, Jong?” Eun Hee masih berceloteh, nampak menikmati pemandangan wajah Jongin yang kian memerah. Pria itu nyaris lupa bahwa dia mengatakan hal-hal semacam itu pada Eun Hee. Hal-hal yang juga belum pernah dia janjikan pada wanita manapun. Dia lalu berdeham beberapa kali, mencoba menjernihkan suaranya yang sempat tersangkut di tenggorokan.

“Itu karena perintah ayahku. Dia memintaku untuk menjagamu. Jadi aku harus melakukannya.”

Jinjja? Tapi kau benar-benar nyaris mengorbankan nyawa tadi.”

“Sangat hiperbola. Aku hanya mendapat luka kecil. Aku tidak akan mati hanya karena luka-luka ini.” Jongin menunjuk luka di wajahnya, menatap Eun Hee dengan tatapan panik.

“Aku tahu lagi satu hal.” Ujar Eun Hee mengalihkan pembicaraan. “Ternyata Tuhan memang tidak menciptakan semua orang dengan sempurna, ya?”

“Kau mabuk?” Jongin menukas, tak paham dengan apa yang Eun Hee katakan. “Atau otakmu rusak karena terjatuh tadi? Ah tidak-tidak, mungkin kewarasanmu kian terkikis.”

“Iris matamu tak sepenuhnya hitam, ada bias cokelat di sekelilingnya. Kau…indah.” Eun Hee menatap mata Jongin dengan penuh minat, seolah ada sebuah dunia indah yang belum pernah lihat di manapun.

“Berhenti mengamati hal-hal tak penting, Eun Hee!” Jongin mengalihkan pandangannya, tak mau ketahuan bahwa wajahnya benar-benar sudah panas dan memerah.

“Kau sama sekali tak punya hak untuk mengatur apa yang penting dan tak penting bagiku selama itu tak menyangkut keselamatanku, kan? Jadi biarkan aku melakukan apa yang aku suka, dan berhentilah terus mengomel seperti appa.”

            “Kau bilang kau mengingat apa-apa yang menyangkut tentangku dengan baik, kan?”

“Tentu! Kau masuk dalam kategori pria tampan menurut standarku.” Eun Hee bahkan nyaris bertepuk tangan saat memuji ketampanan Jongin. Pria itu mendekat ke arah Eun Hee, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala gadis tersebut.

“Kalau begitu aku rasa kau akan mengingat ini seumur hidupmu.” Tepat setelah mengatakan perkataannya Jongin meletakkan bibirnya di atas bibir Eun Hee. Dia mendiamkannya beberapa saat, menikmati deruan napas Eun Hee di wajahnya, juga cengkraman kedua tangan Eun Hee di bagian depan kemeja yang dia kenakan. Tak berapa lama Eun Hee mengambil inisiatif untuk melumat bibir tebal Jongin, pelan, memastikan bahwa lumatannya tak mengenai luka Jongin. Dia masih bisa merasakan aroma cairan antiseptik yang tadi dia baurkan, juga rasa asin darah Jongin dari bibirnya yang sobek.

Jongin menggeram, membuka sedikit mulutnya dan segera disambut Eun Hee dengan suka cita. Dia menelusupkan lidah hangatnya, mencari-cari lidah hangat Jongin, membelitnya dan kian mengencangkan cengkraman di kemeja pria tersebut. Keduanya kemudian berhenti saat mereka merasa nyaris kehabisan napas, hanya beberapa detik sebelum Eun Hee menarik tengkuk Jongin, memaksanya untuk kembali berciuman.

Bibirnya keduanya sudah basah dan bengkak, Eun Hee bahkan sudah membuka tiga kancing teratas kemeja miliknya, menampilkan bra berwarna hitam yang membalut dadanya. Jongin tersentak melihat apa yang Eun Hee lakukan, dia segera menjauhkan diri, mengatur napasnya yang memburu.

“Apa yang kau lakukan?” Jongin bertanya, memandang pada Eun Hee dengan dada depannya yang terbuka. Dia lalu memalingkan wajah, takut pada kemungkinan kehilangan kendali dan meniduri Eun Hee saat itu juga.

“Membuat sebuah kenangan tak terlupakan, apa lagi Jong? Aku rasa sebagai dua orang dewasa kita tahu betul apa yang akan kita lakukan.” Eun Hee menjawab singkat, melepaskan semua kancing kemejanya dan menanggalkan benda tersebut dengan asal. Dia kini hanya menyisakan bra hitam yang membalut dadanya. Saat dia berniat melepaskan pengait bra yang dia kenakan, Jongin memeluk Eun Hee dengan erat.

“Tolong, hentikan.” Dia memohon, dengan nada putus asa yang belum pernah Eun Hee dengar.

“Kenapa? Kau akan menyukainya, percayalah. Aku cukup hebat di ranjang. Kau harus mencobanya.”

“Hentikan. Aku mohon.” Jongin lagi-lagi memohon, mengaitkan kembali bra yang nyaris terlepas dari dada Eun Hee. Dia lalu memungut kemeja yang ditanggalkan gadis tersebut, memasangkannya kembali dengan rapi di tubuh Eun Hee.

“Kita tidak perlu tidur bersama untuk membuat kenangan tak terlupakan. Belum.”

“Apa kau menolakku? Kau tahu kau sudah melukai harga diriku, Jong. Asal kau tahu di luar sana banyak sekali pria yang mengantri hanya untuk berkencan denganku.”

“Aku tahu.” Di luar dugaan Jongin mengulas senyum, dia merapikan surai Eun Hee yang menjuntai, mengusapnya dengan sayang. Eun Hee mengangakan mulut, tak menduga dengan tanggapan Jongin.

“Kau seorang femme fatale, itu sudah sangat jelas. Aku bahkan nyaris kehilangan kendali tadi.”

“Kau tidak perlu menahan diri, aku dengan sukarela akan melakukannya denganmu. Oh ya Tuhan, aku nampak murahan sekali.” Air mata tertumpuk di kedua pulupuk mata Eun Hee, dia bahkan mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya yang mendadak terasa amat panas.

“Aku memohon agar seorang pria mau tidur denganku, ya ampun di mana harga diriku. Jo Eun Hee si penakluk pria baru saja ditolak. Dunia pasti sudah gila!” Eun Hee mengucapkan kata-katanya dengan cepat, membuat Jongin yang melihat hal tersebut tahu satu hal, bahwa dia sudah melukai harga diri Eun Hee, menghancurkan reputasinya.

“Kenapa sih kau begitu tampan? Kau juga terus menerus berada di dekatku, memperlakukanku dengan baik, yah walaupun mulutmu itu sangat pedas, tapi kau menjagaku dengan baik. Apa kau tahu bahwa perhatianmu itu membuat aku salah persepsi, huh? Kau benar-benar idiot yang payah Kim Jongin.” Eun Hee terus mengomel. Jongin masih terdiam, membiarkan gadis itu mengungkapkan kekesalannya.

“Dan kenapa kau harus menjadi body guardku? Bisa tidak kau menjadi kekasihku, saja?”

Mwo?” Jongin akhirnya menanggapi, tak menduga kalimat tersebut akan keluar dari bibir Eun Hee.

“Selain idiot kau juga tuli ya? Kenapa kau tidak menjadi kekasihku saja? Maksudku apa sih enaknya jatuh cinta seorang diri?”

“Kau?”

“Ya, aku jatuh cinta padamu Kim Jongin.” Eun Hee menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari bibir Jongin. Dia sudah kepalang basah, dan dia sudah merendahkan harga dirinya kali ini.

“Sejak kapan?”

“Mana aku tahu? Kau pikir aku bisa memprediksi kapan aku bisa jatuh cinta? Jika bisa aku tidak akan melakukannya denganmu yang hobi mengejekku, tapi aku bisa apa saat pesonamu begitu melimpah ruah. Ditambah kau berada di sekitarku setiap hari.”

“Eun Hee-ya…”

            “Kenapa? Kau mau mengolok-olokku, huh? Lakukan saja, aku sudah selesai merendahkan harga diriku. Kau kan punya kemampuan luar biasa juga dalam mengolok-olokku, aku sudah terbiasa sekali.” Eun Hee menyergah, membuat Jongin yang sedari tadi direnggut kebebasan berbicaranya mendadak gemas. Dia berjalan mendekat, menyeka air mata Eun Hee yang sudah membasahi kedua pipinya. Gadis itu juga pasti terguncang dengan apa yang dia ungkapkan tadi, sama seperti dirinya.

“Kemari.” Ujarnya, lalu dengan gerakan luwes memeluk tubuh Eun Hee yang terasa amat pas dalam rengkuhannya. “Jangan jatuh cinta seorang diri. Aku lebih suka jika kita saling jatuh cinta.” Eun Hee terdiam mendengar perkataan Jongin, dia terdiam di tempatnya, tergugu. Sedangkan pria itu merasakan perasaan membuncah luar biasa di dadanya. Luka-luka di tubuhnya mendadak tak sakit lagi.

TBC